My dad is my hero seolah-olah hanya menjadi tagline. Coba saja tanya kepada masing-masing anak, sudahkah seorang ayah menjadi hero bagi dirinya?
Bagi sebagian ayah mungkin benar-benar merencanakan dengan sedemikian rupa bahwa dirinya haruslah menjadi hero bagi anaknya. Bukan malah lelaki lain yang menjadi hero bagi anaknya, apalagi anak perempuan. Tentu menjadi hero bagi anak adalah niat yang baik. Sehingga berbagai cara pun dilakukan. Mulai dengan belajar segala ilmu parenting hingga mengabulkan semua permohonan anak.
Ada juga ayah yang tidak menjadikan my dad is my hero sebagai impiannya. Karena baginya, cukuplah menafkahi keluarga sebagai kewajiban utama. Urusan anak biarkan ibu yang mengurusnya. Ayah berlepas tangan dari urusan pengasuhan. Salahkah?
Ibu memang madrasah utama bagi anak, tapi ayah adalah kepala sekolah. Maka apa jadinya jika kepala sekolah berlepas tangan dengan madrasah?
Dalam pemaparannya di berbagai sesi kajian dan Youtube Langkah Kita, Ustadz Bendri Jaisyurrahman memberikan ada tiga waktu krusial bagi seorang ayah sehingga anaknya bisa menjadikannya sebagai idola. Karena waktu ini sangat krusial sehingga penting bagi seorang ayah ada di waktu tersebut.
Kapan saja waktu krusial tersebut?
1. Saat Bersedih
Seorang anak punya rumus sederhana.
“Jika engkau membuatku menangis, engkau adalah musuhku. Jika engkau menyeka air mataku, engkau adalah pahlawanku.”
Nah kepada orangtua, terutama ayah, bagaimana? Apakah selama ini membuat anak menangis atau menyeka air mata anak? Maka jangan heran jika sosok ayah tidak mampu menyeka air mata anak, lelaki lain akan menjadi sandaran baginya. Tentu ini bukan keinginan ayah yang ingin menjadi hero bagi anaknya bukan?
Maka saat anak bersedih, pastikan ayah hadir. Jika secara fisik mugkin tidak bisa hadir, coba hadir secara hati. Telpon anak atau video call langsung sehingga golden time tersebut bisa anak rasakan.
2. Saat Sakit
Saat sakit, anak butuh seorang teman. Jika ada sosok yang penting hadir membersamainya, tentu baginya suatu hal yang berkesan. Karena baginya, sosok tersebut telah meluangkan waktu untuk membersamainya.
Di saat sakit pula, ayah bisa mengajarkan tauhid kepada anaknya. Ajak anak untuk menyebut nama Allah ketika sakit. Sehingga kelak anak akan terbiasa mengingat Allah di waktu yang sama, bahkan di setiap saatnya.
3. Saat Tampil
Ada sebuah kisah seorang anak yang kehilangan kepercayaan dirinya karena seorang ayah. Bagaimana bisa?
Suatu hari seorang anak akan unjuk aksi di panggung sekolah. Pada saat itu dia mengharapkan sosok ayah untuk hadir, bahkan ayahnya sudah berjanji untuk hadir. Tapi nyatanya ayahnya tidak hadir. Dia begitu kecewa sehingga menjadi trauma tersendiri baginya. Dia tidak lagi ingin tampil bahkan membenci ayahnya. Apalagi jika ayah tidak merasa bersalah dan menganggap itu hal yang biasa saja.
Hal remeh ini menjadi luka terpendam bagi anaknya. Coba ayah, cek lagi momen bersama anaknya. Adakah luka yang tak sengaja ayah hadirkan, tapi bagi anak begitu sakit dirasakan?
Tiga waktu yang krusial ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh ayah. Waktu yang menentukan anak untuk menjadikan ayah sebagai hero baginya. Seperti halnya pesan Ustadz Bendri, Fatherman bukanlah superhero yang ada setiap saat, tapi datang di waktu yang tepat.
Wahai ayah, sudahkah pernah berkata pada diri sendiri:
“Mimpi saya sederhana. Kelak anak akan menjadikan saya sebagai pahlawan baginya, bukan superhero yang hanya ada di dunia fiksi semata.”
Karena my dad is my hero bukan hanya tagline saja, tapi perjuangan bagi seorang ayah. Semangat menjadi hero bagi anak wahai ayah hebat!