Mari kita lanjutkan membahas topik manfaat dan pentingnya mendidik anak dalam islam. Jika di tulisan yang sebelumnya kita dipaparkan bahwa kita harus berperan aktif dalam perkembangan anak. Kali ini kita membahas lebih dalam yaitu hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mendidik anak.
Adapun sifat-sifat asasi seorang pendidik/orang tua dalam mendidik anak yang perlu diperhatikan antara lain:
a. Menjadi teladan yang baik dalam ilmu dan amal
Perilaku guru atau orang tua sangat berpengaruh terhadap perilaku anak, baik berupa perkataan ataupun perbuatan, karena guru sebagai contoh teladan terhadap anak didiknya. Anak tidak akan mungkin berperilaku baik apabila orang tuanya berperilaku buruk. Jadi ada ketergantungan dan timbal balik antara anak didik dan guru atau orang tua.
Sebelum memberikan contoh yang baik kepada siswa, terlebih dahulu guru atau orang tua mengamalkan apa yang diajarkan Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ. كَبُرَمَقْتًا عِندَ اللهِ أَن تَقُولُوْا مَا لَا تَفْعَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapalah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar dosa di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
(QS. Al Shaff : 2-3)
Sungguh ironis jika guru atau orang tua mengajarkan nilai-nilai keagamaan mengenai bagaimana berperilaku baik, akan tetapi justru guru mencerminkan perilaku buruk. Pendidikan agama mutlak bagi seluruh lingkungan sekolah, karena memberikan pemahaman dalam pembinaan sikap mental dan kepribadian anak didik.
Peran guru atau orang tua harus tetap mengingatkan kepada anak agar selalu bersikap saling menghormati, saling menghargai antar sesama teman. Maka secara tidak langsung anak akan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian ada perasaan bagi anak untuk mengevaluasi diri dari perilaku buruk yang dilakukan sebelumnya.
Seorang guru adalah pemimpin bagi anak didiknya dalam dunia pendidikan. Sementara orang tua akan mengambil alih peran tersebut jika sang anak sudah kembali ke rumah. Allah SWT mengisahkan perkataan Nabi Syu’ab kepada kaumnya:
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلاَحَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.”
(QS. Al Huud : 88)
عَنْ أَبِى عَامِرٍ جَابِرٍ ابْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِى الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Dari Abu Amir Jabir bin Abdullah, dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam Beliau bersabda : “Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala orang yang meng-amalkannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa memberikan contoh yang jelek, dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengikuti dia, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
(HR. Muslim)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa seorang pendidik hendaknya berupaya menjaga agar perbuatannya tidak menyalahi ucapannya, terutama di hadapan anak-anak didiknya. Karena hal ini akan menjatuhkan kewibawaannya dan menghilangkan berkah ilmunya, serta bisa membinasakan dirinya sendiri. Allah SWT berfirman
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّوَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?.”
(QS. Al Baqarah : 44)
b. Sabar menghadapi berbagai karakter anak
Seorang guru atau orang tua harus memiliki kesabaran dalam menghadapi tingkah laku dan tingkat kecerdasan anak-anak didiknya. Karena semuanya adalah ujian dari Allah SWT.
Memang fitrah manusia condong mencintai anak yang penurut, pandai, cerdas dan berakhlak baik. Namun kecintaan itu tidak boleh menghalanginya untuk mendidik dengan adab dan berbuat adil terhadap semua anak didiknya. Rasulullah sangat mencintai Fatimah, namun beliau bersabda:
وَأَيْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا (رواه البخاري)
“Demi Allah, bila Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh Aku akan memotong tangannya.”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
Bila pendidik mendapati anak didiknya yang bandel, kurang beradab, tidak cerdas atau banyak tingkah, maka kebenciannya tidak boleh menyeretnya untuk berbuat zalim.
Upaya perbaikan terhadap anak yang nakal atau banyak tingkah bisa diusahakan tanpa pukulan. Bisa dengan nasihat secara lisan, atau dibentak, atau ditakut-takuti tanpa berlebihan sehingga tidak menimbulkan sikap minder pada anak. Hal itu dilakukan terlebih dahulu disertai dengan doa karena Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemah lembutan itu tidak ada dalam suatu perkara kecuali akan menjadikannya bagus, dan tidaklah kelemah lembutan itu dicabut dari sesuatu melainkan akan menjadikannya jelek.”
(HR. Muslim dari Aisyah)
Dari Aisyah ra, dia berkata:
“Tidaklah Rasulullah diberi pilihan antara dua perkara kecuali beliau akan memilih yang paling mudah atau yang paling ringan, selama bukan dosa.”
(HR. Muttafaqun ‘alaih)
c. Bersikap pemaaf dan tawadhu’ (rendah hati)
Dua perkara ini memberi pengaruh yang besar dalam mendidik anak, ketika anak didik mendapati gurunya memiliki jiwa pemaaf dan tawadhu’ akan menambah kewibawaan sehingga berbagai macam nasihat dan bimbingan akan lebih mudah mereka terima. Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda:
“Tidaklah sedekah itu mengurangi harta kecuali bertambah dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan pemaafnya kecuali ‘izzah (kewibawaan). Dan tidaklah seorang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim)
d. Menggunakan kata-kata yang baik kalau tidak mampu, hendaknya diam dan mendoakan.
Rasulullah Shalallahu alaihi wa aalihi wa shahbihi wa salam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam (bila tidak mampu).”
(HR. Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Abu Hurairah ra)
Manfaat mempunyai anak yang sholeh/sholehah
Orang tua akan memetik buah hasil dari jerih payahnya mendidik anak. yaitu ketika anak-anaknya menjadi sholeh dan sholehah. Hasilnya bukan hanya didapat di dunia, bahkan di alam kubur dan akhirat kelak.
Berikut adalah manfaat dari anak sholeh dan sholehah.
- Membantu orang tua tanpa diperintah
- Tidak berbicara “ah” untuk menolaknya
- Tulus dan ikhlas dalam membatu orang tua
- Merawat dengan penuh kasih kala orang tua berusia senja dan sakit sebagaimana orang tua merawat kita diwaktu kecil.
- Santun berbicara dengan orang tua
- Mendoakan orang tua
Ketika orang tua punya anak yang sholeh yang segala tindak-tanduknya mencerminkan akhlaq mulia, maka otomatis orang tua akan mendapatkan pujian dari orang lain. Orang-orang akan membicarakan dan meminta pendapatnya tentang cara mendidik anak menjadi sholeh.
Bagimana dengan sharing kali ini. Harusnya makin selektif dan makin menjaga pendidikan anak sebelum terlambat. Semoga setiap anak-anak menjadi anak yang sholeh dan sholehah serta menjadikan kita penghuni syurga kelak diakhirat berkat anak kita yang telah kita didik dengan baik. Semoga tulisan ini juga bermanfaat bagi kita.