Assalamu’alaikum…

Semenjak banyak iklan dan berita di media dengan tema liburan, traveling atau melancong menjadi sebuah kebutuhan. Didukung dengan ilmu psikologi yang membenarkan bahwa travelling dibutuhkan untuk refreshing yang impactnya bisa membuat kita menjadi lebih produktif.

Generasi milenial berlomba-lomba untuk menjelajah Indonesia dan dunia. Mendatangi berbagai tempat asing, tak hanya untuk liburan, tapi juga demi mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Hal ini tentu saja sangat positif. Terlebih dalam Islam, traveling memang sangat dianjurkan. Sebab, dengan melakukan traveling, manusia diharapkan akan semakin bersyukur dan mendapatkan banyak hikmah serta pelajaran dari berbagai kejadian yang dihadapinya di perjalanan.

Traveling juga bisa menjadi sarana dakwah. Itulah yang dilakukan para pendahulu kita, bahkan sejak zaman para Nabi. Di sisi lain kita juga harus mengambil pelajaran dari apa yang sudah kita lakukan dengan traveling, alangkah baiknya disaat kita traveling kita mengingat akan kebesaran tuhan yang maha esa, dan semua itu tertera di ayat suci Al-Qur’an berikut ini:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
(Al-Mulk: 15)

“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.”
(Muhammad: 10)

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?”
(Yusuf: 109)

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”
(Ali ‘Imran: 137)

“Katakanlah: ‘Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa’.”
(An-Naml: 69)

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebahagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur.”
(Luqman: 31)

“Katakanlah: ‘Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)’.”
(Ar-Rum: 42)

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri.”
(Ar-Rum: 9)

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu'”
(Al-An’am: 11)

Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga mengharuskan adanya safar atau wisata untuk menunaikan salah satu rukun dalam agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah Ta’ala dalam setahun.

Ketika ada seseorang datang kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama, yaitu safar dengan makna kerahiban atau sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan kepadanya,

“Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.”
(HR. Abu Daud, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin)

Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengaitkan wisata yang dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.

Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’, di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.

Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:

التائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السائِحُونَ الراكِعُونَ الساجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالناهُونَ عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة التوبة: 112)

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.”
(QS. At-Taubah: 112)

Ikrimah berkata ‘As-Saa’ihuna’ mereka adalah pencari ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya. Silakan lihat Fathul Qadir. Meskipun penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan ‘As-Saaihin’ adalah orang-orang yang berpuasa.

Di antara maksud wisata dalam Islam adalah mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat. Allah berfirman:

“Katakanlah: ‘Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.”
(QS. Al-An’am: 11)

Dalam ayat lain:

“Katakanlah: ‘Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.”
(QS. An-Naml: 69)

Al-Qasimi rahimahullah berkata:

”Mereka berjalan dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya.”
(Mahasinu At-Ta’wil)

Menurut Imam Syafi’i, jalan-jalan itu ada manfaatnya:

  • Pertama, semua kesedihan akan hilang. Jika sedang sumpek, jangan berdiam di rumah saja, tetapi pergilah keluar rumah, jalan-jalan. Pergilah ke suatu tempat dan lihatnya keadaan kaum muslimin di situ, carilah pengalaman
  • Kedua adalah akan muncul ide-ide karena sering berinteraksi dengan orang lain selama di perjalanan.

Semoga dengan tulisan ini, semoga kita makin mantab dan jadi tau di balik rekreasi ada manfaat yang baik. Selamat berwisata!

Share This

Share This

Share this post with your friends!