Salat merupakan salah satu ibadah mahdhah atau ibadah yang tidak dapat diwakilkan ketika hendak melaksanakannya. Untuk itu, kaum muslimin juga harus selalu menyiapkan diri agar dapat selalu melaksanakan salat fardhu dengan baik, terutama selama perjalanan. Ketika melakukan perjalanan, kita belum tentu bisa menjamin bahwa akan menemukan tempat yang layak untuk melaksanakan salat, sehingga kita juga harus bersiap ketika harus melaksanakannya di atas kendaraan. Sebelum melaksanakan salat di atas kendaraan, tayamum juga harus dilakukan sebagai pengganti wudhu karena kemungkinan besar kita pun tidak mudah menemukan sumber air suci untuk berwudhu.
Para ulama sebenarnya tidak membatasi secara khusus debu yang dapat digunakan untuk tayamum dalam kategori tertentu. Asalkan debu tersebut suci, dapat berhambur di udara, dan bukan debu bekas tayamum (musta’mal). Sehingga, di manapun seseorang mendapatkan debu yang menempel di tangannya, selama memenuhi kriteria di atas maka dapat digunakan untuk tayamum. Ketentuan hukum di atas juga berlaku ketika diterapkan dalam menyikapi debu-debu yang menempel pada kursi kendaraan, seperti mobil, bus ataupun pesawat. Jika saat menempelkan tangan pada kursi kendaraan terdapat debu yang melekat di tangan dan debu tersebut dapat berhamburan (ghubar) maka dapat digunakan untuk tayamum.
Sebelum melakukan tayamum di atas kendaraan, harus dipastikan bahwa debu yang menempel pada kursi kendaraan dapat digunakan sebagai alat tayamum ketika debu tersebut dengan syarat: (1) suci, (2) belum digunakan untuk tayamum, dan (3) dapat berhamburan seperti halnya sifat debu pada umumnya. Satu lagi yang tak kalah penting: cukup untuk mengusapkannya secara merata pada wajah dan tangan.
Terkait pelaksanaan salat di atas kendaraan ketika perjalanan, berdasarkan keterangan hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah bahwa Nabi SAW turun ketika hendak melaksanakan salat fardhu.
عن جابر بن عبد الله، قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي على راحلته حيث توجهت فإذا أراد الفريضة نزل فاستقبل القبلة
Dari Jabir bin ‘Abdillah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam salat di atas kendaraannya (tunggangannya) menghadap kemana pun kendaraannya itu menghadap. Namun, jika beliau hendak salat fardhu, maka beliau turun dan salat menghadap kiblat.
(HR. Bukhori)
Menurut ijma’ ulama (kesepakatan ulama), hadis tersebut menunjukan bahwa dalam melaksanakan salat fardhu harus menghadap kiblat kecuali ada udzur syar’i. Dengan demikian, salat fardhu harus dilaksanakan dengan sempurna sebagaimana mesti salat itu dilaksanakan. Hal ini bisa kita pahami dari kalimat bahwa Rasulullah SAW turun dari tunggangannya ketika hendak melakukan salat fardhu. Turunnya beliau ini dimaksudkan agar beliau dapat melakukan shalat fardhu dengan sempurna, yakni dengan menghadap kiblat, berdiri, ruku’, dan sujud secara benar. Namun demikian melihat realita di lapangan sering kali terjadi beberapa kemungkinan yang menjadikan seseorang mungkin atau tidak mungkin melakukan salat fardhu. Beberapa kemungkinan itu di antaranya adalah:
Pertama
Bila yang ditumpangi adalah kendaraan pribadi maka seharusnya tidak ada alasan untuk tidak bisa turun dan melakukan salat fardhu di atas tanah sebagaimana mestinya. Orang yang mengendarai kendaraan pribadi tentunya ia bisa sekehendaknya menghentikan kendaraannya.
Kedua
Bila yang ditumpangi adalah pesawat, kereta api, dan kapal laut maka masih ada kemungkinan untuk bisa melakukan salat fardhu sebagaimana mestinya di atas kendaraan-kendaraan itu. Masalahnya kemudian tinggallah soal kemauan orang yang bersangkutan untuk shalat atau tidak.
Ketiga
Bila yang ditumpangi adalah kendaraan umum seperti bus antar kota maka kecil kemungkinan (untuk tidak mengatakan tidak bisa sama sekali) untuk melakukan salat fardhu di atasnya. Kiranya sulit salat di atas bus sambil berdiri, ruku’, dan sujud secara sempurna. Pun sulit pula melakukannya dengan menghadap ke arah kiblat. Harapan yang tersisa adalah bila bus berhenti di tempat peristirahatan tepat pada waktunya salat.
Bila terjadi kemungkinan yang ketiga yaitu penumpang benar-benar tidak bisa turun untuk salat atau melakukan salat secara sempurna di atas kendaraannya, maka satu-satunya yang mesti ia lakukan adalah shalât li hurmatil waqti, yakni melakukan salat sekadar untuk menghormati datangnya waktu shalat, karena pada dasarnya seseorang tidak diperbolehkan meninggalkan salat ketika ia menemui datangnya waktu salat.